[Wawancara] Adhi S. Lukman: Pebisnis Tangguh di Industri Makanan dan Minuman
Bendera bisnis Inaco yang dikibarkan PT Niramas Utama merupakan pemain tangguh di industri makanan dan minuman (mamin). Inaco memiliki dua pabrik yang berlokasi di Bekasi dan Pontianak. Di Bekasi, Inaco mengoperasikan pabrik seluas 4.312 meter di atas lahan 25.000 meter persegi. Sementara di Pontianak, Inaco memiliki pabrik seluas 3.500 meter yang dibangun di atas lahan seluas 3 hektare.
Kedua pabrik tersebut untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor. Produk-produk Inaco memang sudah didistribusikan ke mancanegara seperti Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Hong Kong, Jepang, Nigeria, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat. Saat ekonomi nasional sedang lesu, pasar ekspor menjadi penolong Inaco.
Dalam perbincangan dengan Redaksi MARKETING beberapa waktu lalu di Jakarta, CEO PT Niramas Utama Adhi S. Lukman berbagi cerita bagaimana membangun Inaco hingga menjadi merek yang punya value. Sebagai Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), dia juga memaparkan kondisi industri mamin yang masih tergantung pada bahan baku impor.
Bagaimana kondisi industri mamin Indonesia di tengah pelambatan ekonomi dan bagaimana rencana ekspansi Inaco ke depan? Berikut ini petikan wawancara dengan Adhi S. Lukman.
Bagaimana kondisi industri mamin di tengah pelambatan ekonomi saat ini?
Tetap ada pertumbuhan, tahun lalu pertumbuhan sektor mamin 9,6%, tapi pertumbuhannya lebih dikontribusi oleh peningkatan volume daripada peningkatan harga. Kemudian, di semester I tahun 2015, pertumbuhan masih 8,5%. Kalau kita cek data-data di retailer, ternyata pertumbuhan kita bukan karena volume, tapi lebih banyak karena kenaikan harga.
Dan setelah Lebaran makin terasa pelambatannya, sebagian retailer mengalami kelebihan stok dan akhirnya sampai semester III – 2015 year on year turun 6,5%. Tapi secara kualitas pertumbuhannya lebih baik dari periode sebelumnya, karena pertumbuhan volumenya sudah mulai kelihatan.
Kalau kita lihat investasi tahun 2015, sektor mamin anjlok. Tahun 2014 investasi mamin senilai Rp53 triliun, sebesar Rp34 triliun dikontribusi oleh investasi asing, dan Rp19 triliun oleh investasi dalam negeri. Tapi tahun 2015 sampai September, investasi asing anjlok hanya tercatat Rp13 triliun. Investasi dalam negeri kita bersyukur ada tren meningkat, dari tahun lalu Rp19 triliun menjadi Rp18 triliun lebih per September 2015.
Saya melihat kalau investasi tidak ada kaitannya dengan pelambatan ekonomi saat ini, tapi karena kondisi yang kondusif dan prospek di masa depan. Saya tetap yakin prospek mamin masih akan lebih baik, sehingga saya prediksi tahun 2016 investasi akan makin tinggi.
Tadi dikatakan kontribusi karena kenaikan harga, berarti kandungan impor sektor mamin di Indonesia tinggi?
Ya, karena terus terang, bahan baku untuk industri mamin kita banyak impor. Mulai dari gula susu, tepung terigu, dan garam. Masing-masing impor terigu 100%, gula 100% impor, kedelai 70%, dan buah sekitar 70%. Bahan baku plastik untuk kemasan juga masih impor. Ketergantungan kita masih tinggi.
Bagaimana Inaco mengatasi kondisi tersebut?
Salah satu strategi kami dengan menggenjot ekspor, meskipun tantangannya besar. Tidak semudah mengekspor baju, yang penting cocok harga dan mutu, bisa langsung dikirim. Sementara mamin tantangannya mencakup standar keamanan pangan, label, dan regulasi negara setempat, termasuk ingredients, tiap negara aturannya beda-beda. Kita harus lakukan ini, ibaratnya kalau orang main bola kita harus offensive agar bisa defense. Kalau dahulu didengung-dengungkan pasar dalam negeri besar, sehingga pengusaha malas memikirkan ekspor. Tapi, sekarang tidak mungkin lagi. Di era pasar bebas kalau kita diam saja di dalam negeri, lama-lama kita akan tergerus dan habis.
Inaco didistribusikan ke berbagai negara, menggunakan distributor sendiri atau pihak lain?
Terus terang kami banyak ekspor tapi melalui distributor yang ditunjuk, bukan milik kami, dan kami belum melakukan aktivitas marketing. Sekarang sudah mulai, beberapa negara kami pilih untuk mendobrak pasar. Kalau kita hanya mengandalkan distributor akan kurang berkembang. Sekarang dengan kondisi ekonomi seperti ini, kita mau tidak mau harus menyerang.
“Kami harus membenahi pasar dalam negeri dulu, dan sekarang sudah mulai mapan di dalam negeri, sehingga ingin menggarap pasar luar negeri.”
Apakah produk untuk ekspor sama dengan produk untuk pasar lokal?
Untuk pasar ekspor ada dua, yakni produk branded dan non branded. Selain itu, kami juga memproduksi untuk merek perusahaan lain (OEM/original equipment manufacturing). Yang non branded biasanya mereka beli dari kami dan dikemas kembali lalu diberi merek oleh mereka.
Mana yang lebih besar pasar ekspornya, produk branded atau non branded?
Kami harus akui yang besar masih non branded. Namun yang branded sudah mulai dikembangkan, karena sekarang kami mau fokus yang branded. Yang branded yang sudah menembus pasar ekspor seperti Aloevera, Nata De Coco, dan Inaco Jelly. Produk sama dengan pasar lokal cuma ada penyesuaian di ingredients, karena beberapa negara tidak sama peraturannya dengan Indonesia.
Mengapa baru sekarang fokus membangun merek di luar negeri?
Kami mengukur kekuatan. Kami harus membenahi pasar dalam negeri dulu, dan sekarang sudah mulai mapan di dalam negeri, sehingga ingin menggarap pasar luar negeri. Kami juga harus mencontoh perusahaan-perusahaan yang sangat sukses di pasar ekspor. Kalau bisa menggenjot ekspor sehingga komposisinya mencapai 50:50 untuk pasar domestik dan ekspor. Ketika ada gejolak di pasar lokal kita, ada back up dari pasar ekspor.
Negara mana yang potensial untuk digarap sebagai pasar ekspor?
Sekarang masih fokus di negara-negara ASEAN, kami lihat potensi pasarnya cukup besar. Apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai Januari mendatang. Pertimbangannya ada kesamaan karakter dan budaya. Faktor lain, persaingan belum terlalu ketat, dari segi regulasi juga tidak terlalu berbeda dari negara-negara maju lainnya.
Bagaimana kinerja Inaco di pasar domestik?
Terus terang dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 5 tahun terakhir pertumbuhan kami cukup bagus, rata-rata di atas 30%. Cuma tahun ini harus diakui tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Portofolio kami yang paling besar Jelly, disusul Nata De Coco, dan Aloevera.
Bagaimana strategi Inaco dalam membangun merek di pasar domestik?
Pertama, komitmen pada kualitas. Ini yang utama dan tidak bisa ditawar apa pun kondisinya, seperti gejolak ekonomi. Dengan kualitas yang bagus, mau tidak mau harga kita menjadi premium, bukan mahal, dan yang kita jual adalah value.
Kedua, kami mampu bertahan di tengah gejolak ekonomi karena menjual value. Banyak yang concern dengan harga, yang penting murah. Pada saat gejolak ekonomi banyak yang tutup, mereka tidak bisa bertahan karena marginnya sangat kecil. Begitu ekonomi membaik, mereka bangkit lagi dengan mengganti merek. Yang bermain di kelas bawah gonta-ganti merek hal biasa, dan mereka tidak membangun brand. Kami tidak mau seperti itu, brand bagi kami penting.
Ketiga, kami didukung oleh SDM yang bagus. Keempat, distribusi produk yang merata. Dari tahun ke tahun, distributor kami naik. Sekarang sudah mencapai 60 distributor di seluruh Indonesia. Kelima, kepuasan konsumen. Kami selalu mengundang konsumen untuk datang ke pabrik dan melihat langsung proses produksi.
Bagaimana dengan budaya inovasi?
Inovasi salah satu strategi agar tetap eksis. Inovasi baik dalam bentuk pengembangan produk atau produk baru. Nanti, Januari 2016, kami akan meluncurkan produk terbaru, di luar kategori produk yang sudah ada.
Bagaimana rencana pengembangan Inaco ke depan?
Ingin go public. Tapi, sekarang kami masih dalam konsolidasi agar benar-benar siap saatnya nanti go public. Kami juga ingin perusahaan ini tetap solid. Pertumbuhannya bukan secara organik, maunya mencapai pertumbuhan anorganik, apakah dengan akuisisi atau merger.
Bermula dari Satu Kursi Kosong yang Tersisa
Jika mengikuti kata hati, Adhi S. Lukman inginnya kuliah di luar negeri seperti teman-temannya. Ketika lulus SMA tahun 1980 silam, teman-temannya banyak yang kuliah di luar negeri mengambil jurusan teknik kimia, teknik industri, dan matematika. Apa daya, karena tidak punya biaya dia memendam keinginannya kuliah di negeri seberang.
Di tengah kegalauan, kepala sekolah menawarinya untuk mengisi salah satu kursi kosong yang tersisa di IPB (Institut Pertanian Bogor). Dia ditawari kuliah di IPB karena termasuk salah satu murid berprestasi saat SMA. Awalnya pria penghobi fotografi dan traveling ini sempat ragu, karena dipikirnya kuliah di IPB paling banter akan menjadi petani.
Namun setelah berdiskusi dengan pamannya, dia membulatkan tekad menimba ilmu di IPB. Satu nasihat dari pamannya yang masih membekas hingga hari ini: ”Sepanjang orang hidup pasti butuh makan dan minum. Terjun di dunia makanan dan minuman tidak ada matinya”.
Kalimat tersebut yang memotivasinya kuliah di IPB. Semenjak kuliah, dia sudah terbiasa mencari uang sendiri dengan mengajar les dan menjadi asisten dosen. Petuah pamannya terwujud, kini dia menjadi orang nomor satu di perusahaan makanan dan minuman “Inaco” yang memiliki 1.000 karyawan. (Majalah Marketing/Tony Burhanudin)